Mereka hanya sejumlah kecil dari pengusaha Yahudi yang pernah meraih sukses. Mereka adalah pedagang-pedagang tangguh yang menjual berlian, emas dan intan, perak, jam tangan, kaca mata dan berbagai komoditas lainnya.
Pada tahun 1930-an dan 1940-an jumlah warga Yahudi di Jakarta banyak. Jumlahnya bisa mencapai ratusan orang. Karena mereka pandai berbahasa Arab, mereka sering dikira keturunan Arab.
Di masa kolonial, warga Yahudi ada yang mendapat posisi tinggi di pemerintahan. Termasuk gubernur jenderal AWL Tjandra van Starkemborgh Stachouwer (1936-1942). Kaum Yahudi di Indonesia memiliki persatuan yang kuat. Setiap Sabat (hari suci umat Yahudi), mereka berkumpul bersama di Mangga Besar, yang kala itu merupakan tempat pertemuannya.
Pada 1957, ketika hubungan antara RI-Belanda putus akibat kasus Irian Barat (Papua), tidak diketahui apakah seluruh warga Yahudi meninggalkan Indonesia. Konon, mereka masih terdapat di Indonesia meski jumlahnya tidak lagi seperti dulu. (sumber)
Kisah Juragan Yahudi Pertama di Jakarta
Banyak hal unik dan menarik yang tersimpan dalam sejarah bangsa Indonesia. Salah satunya adalah kedatangan orang Yahudi ke Jakarta yang ternyata telah ada sejak zaman penjajahan dulu.
Seperti yang diceritakan mengutip dari sebuah buku '9 Dari 10 Kata Bahasa Indonesia Adalah Asing' menyebut bahwa pada masa penjajahan Belanda, ada banyak warga Yahudi yang datang ke Indonesia. Sebagai kaum yang tersebar di berbagai belahan dunia, tidak sedikit dari mereka yang sukses menapaki karir di Indonesia lewat jalur berdagang.
Tercatat, salah satu kaum Yahudi yang paling pertama diketahui tiba di Jakarta adalah Lendeert Miero. Pria yang memiliki nama asli Juda Leo Ezikiel ini diketahui berasal dari satu wilayah yang sekarang menjadi Ukraina.
Sepanjang hidupnya, Miero dikenal sebagai juragan yang sangat kaya. Bahkan lebih kaya ketimbang kaum Yahudi lain di masanya. Meski begitu, kondisi itu tidak didapatkan secara instan.
Diceritakan, Miero pertama kali datang ke Indonesia tahun 1775 sebagai seorang yang miskin karena hanya menjadi prajurit kecil untuk kerajaan Hindia Belanda.
Saat itu, Miero menyembunyikan identitasnya sebagai bangsa Yahudi. Pasalnya Belanda yang kala itu dinakhodai oleh dua perusahaan eksplotasi terbesarnya, the Dutch East India Company (VOC) dan the Dutch West Indian Company (WIC), melarang adanya bangsa Yahudi untuk bekerja.
Kondisi tersebut disembunyikan oleh Miero selama puluhan tahun hingga pada akhirnya, di tahun 1728, Miero membongkar identitasnya tepat setelah Belanda mengijinkan orang Yahudi berkongsi dalam perekonomian dan pemerintahan mereka.
Sejak saat itu, nasib Miero mulai berubah drastis. Ia mulai membangun kerajaan bisnisnya dengan menjadi seorang juragan emas sekaligus rentenir di Batavia. Ia memiliki toko di Molenvliet West (sekarang menjadi Jl. Gajah Mada) Jakarta Pusat dan satu rumah mewah (kini menjadi gedung arsip nasional).
Layaknya seorang rentenir, sikap dan perilaku Miero yang cenderung judes dan kejam tidak disukai warga Batavia. Menurut catatan di buku tersebut, istilah kata 'judes' sendiri sebenarnya disebabkan oleh kebencian warga terhadap Miero. Kata judes disebut berasal dari kata 'Judas' yang memang identik dengan orang Yahudi.
Meski begitu, kerajaan bisnis Miero terus berkembang. Dari hasil berdagang, ia berhasil membeli sebidang tanah luas di Pondok Gede lengkap dengan rumah besar yang dibangun oleh pemilik pertamanya, Johannes Hooyman. Konon nama wilayah Pondok Gede itu sendiri berasal dari rumah tersebut.
Miero meninggal pada usia 79 tahun atau tepatnya pada tahun 1834. Dia kemudian dimakamkan di tanah miliknya di dekat Pondok Gede yang dimilikinya. Makamnya kemudian dibongkar dan dijadikan rumah hunian penduduk. Bahkan nisannya ikut dicongkel untuk bahan pembuatan bangunan. Kini tempat Pondok Gede telah bergandi menjadi pusat pertokoan Mall Pondok Gede I dan II.
Sumber : http://forum.viva.co.id/sosial-dan-budaya/1652417-sejarah-warga-yahudi-di-jakarta.html